Breaking News

KUASA HUKUM AJUKAN RDP DI DPR RI: DUGAAN PEMBIARAN KASUS KDRT DAN ANCAMAN TERHADAP BAYI 6 BULAN, PENEGAK HUKUM DIMINTA BERTINDAK


Jakarta, 14 November 2025 — Kuasa Hukum dari Katryna Ramadhanty N.C.P, korban dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), secara resmi mengajukan permohonan dukungan moril dan pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat (RDP) kepada Komisi 8 dan Komisi 3 DPR RI. 

Permohonan tersebut diajukan menyusul rangkaian dugaan pembiaran oleh aparat penegak hukum dalam menangani kasus KDRT yang dialami oleh korban, termasuk ancaman terhadap bayi berusia 6 bulan.Surat yang ditandatangani Okky Rachmadi S., SH, CIB, CBLC, ERMAP, CLA itu memuat kronologi lengkap peristiwa sejak tanggal 1 November 2025, termasuk penganiayaan berulang, ancaman pembunuhan, serta komunikasi pelaku yang sempat mengirim pesan kepada korban bahwa “Emma sudah mati” sebelum akhirnya pesan tersebut dihapus.

Diduga Ada Pembiaran Prosedural oleh Aparat Kepolisian,Dalam surat permohonannya, Kuasa Hukum menegaskan bahwa sejumlah aparat kepolisian dari Polres Metro Jakarta Selatan tidak menjalankan kewajiban hukum dalam memberikan perlindungan darurat kepada korban dan anaknya.Korban dan kuasa hukum beberapa kali menghubungi Unit PPA, namun tidak mendapatkan respon. Bahkan, menurut laporan, anggota keamanan apartemen sempat menghalangi petugas kepolisian yang hendak mengevakuasi korban dan bayinya dari lokasi, tanpa dasar hukum yang jelas.Padahal, Pasal 16 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) mewajibkan kepolisian memberikan perlindungan sementara dan segera meminta penetapan pengadilan atas perintah perlindungan.Lebih jauh, Pasal tersebut mewajibkan polisi untuk:Melindungi korban secara langsung,Mengawal evakuasi,Mencegah terjadinya pengulangan kekerasan,Dan bertindak cepat tanpa menunggu proses formil lainnya.

Namun dalam kasus ini, korban justru harus mengungsi ke hotel bersama bayi berusia 6 bulan karena polisi menyatakan penyidik sedang lepas dinas dan tidak dapat memberikan perlindungan. Pelaporan Dugaan Tindak Pidana Sudah Dilakukan,Korban telah melaporkan suaminya, Andhika Perkasa Putra, dengan LP/B/4113/XI/2025/SPKT/Polres Metro Jaksel untuk dugaan tindak pidana KDRT sebagaimana diatur dalam:Pasal 44 UU PKDRT"Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana penjara paling lama 5 tahun, atau denda paling banyak Rp 15 juta."
Bukti yang dilampirkan dalam laporan:Foto luka hasil penganiayaan,Visum et Repertum,Bukti video pasca kejadian.Tak hanya itu, akses anak berusia 6 bulan yang sempat dikuasai pelaku juga telah dilaporkan dan ditangani oleh PPPA dan KPAI, yang mengeluarkan rekomendasi terkait perlindungan anak.

Asas Perlindungan Anak Diduga Diabaikan
Dalam permohonan tersebut, Kuasa Hukum menegaskan bahwa sikap aparat yang membiarkan bayi 6 bulan tetap berada dalam penguasaan terlapor yang diduga abusive merupakan bentuk pengingkaran terhadap asas hukum perlindungan anak.
Ketentuan ini jelas diatur dalam:
Pasal 59 UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak
Negara wajib memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang:
menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga,
berada dalam situasi darurat,
dan berpotensi mengalami tindak pidana terhadap jiwanya.
Pasal 76C jo. Pasal 80 UU 35/2014
Mengatur larangan dan sanksi tegas bagi setiap orang yang melakukan kekerasan atau ancaman terhadap anak.

Korban Meminta DPR Turun Tangan
Dalam poin akhir surat, Pemohon meminta:

1. Dukungan moril dari DPR terhadap korban dan anaknya.
2. Pengawasan atas proses hukum pada semua lembaga terkait, termasuk kepolisian, PPPA, KPAI, dan LPSK.
3. Pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi 8 dan Komisi 3 untuk memastikan komitmen negara dalam perlindungan perempuan dan anak dapat ditegakkan.

Kuasa Hukum menilai bahwa seluruh rangkaian peristiwa yang dialami kliennya menunjukkan adanya “kegagalan sistemik” dalam struktur penegakan hukum terkait perlindungan perempuan dan anak. Dalam suratnya, ia menekankan bahwa hukum yang diterapkan tanpa asas keadilan dan perlindungan justru berubah menjadi alat yang merugikan korban.
Permintaan Reformasi Prosedural Penegakan Hukum
Surat tersebut juga menyoroti bahwa tindakan pihak keamanan apartemen yang menghalangi aparat negara patut didalami, mengingat:
Pasal 216 KUHP
Mengatur pidana bagi siapa pun yang dengan sengaja menghalang-halangi pejabat yang sedang menjalankan tugas.

Pasal 221 KUHP
Melarang tindakan menyembunyikan atau melindungi pelaku tindak pidana.
Dengan demikian, DPR RI diminta menggelar RDP untuk mengevaluasi:
Dugaan pembiaran oleh Unit PPA Polres Metro Jaksel,
Lambannya proses perlindungan di PPPA dan LPSK,
Dugaan intimidasi, ancaman, dan penyalahgunaan status sosial oleh pelaku,
Serta perlunya standardisasi penegakan hukum yang selaras dengan asas perlindungan perempuan dan anak.

Narasumber : Gusti Ramadhani SH
© Copyright 2022 - JEJAKPERKARA.ID